Pengertian dan Contoh Nasikh - Mansukh Dalam Ilmu Hadits

Dalam mempelajari ilmu hadits, salah satu hal penting yang harus diketahui adalah memahami makna nasikh dan mansukh, sebagai mana berikut keterangannya :


Pengertian Nasikh dan Mansukh (النَّاسِخُ وَالْمَنْسُوْخُ) Dalam Ilmu Hadits

Menurut bahasa, nasikh merupakan isim fail dan mansukh merupakan isim maf'ul dari lafadz "nasakho" (نَسَخَ) yang berarti merombak. Jadi, nasikh berarti sesuatu yang merombak hukum, sedangkan mansukh adalah sesuatu yang dirombak hukumnya.

Menurut istilah, sebagaimana dalam Kitab Minhatul Mughits yang dijelaskan dalam bab yang sama, adalah sebagai berikut ini :

النُّسْخُ رَفْعُ الشَّارِعِ حُكْمًا مِنْهُ مُتَقَدِّمًا بِحُكْمٍ مِنْهُ مَتَأَخِّرٍ

"Naskh (perombakan hukum) adalah menghilangkan syariat hukum yang telah dahulu (hukum lama) karena adanya hukum yang akhir (hukum baru)".

Dari definisi di atas, maka kita bisa mengetahui bahwa dalam ilmu hadits terdapat perombakan atau menggantian hukum. Nasikh di sini berarti hadits yang merombak suatu hukum (hukum dalam hadits yang baru). Sedangkan mansukh berarti hadits yang dirombak atau diganti hukumnya (hukum dalam hadits yang lama).


Contoh Nasikh dan Mansuk Dalam Ilmu Hadits

Perombakan atau penggantian hukum di dalam hadits bisa diketahui dari beberapa hal, sebagaimana di bawah ini :

1. Perombakan Hukum Dari Rasulullah SAW Secara Jelas

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ الْاٰخِرَةَ

"Aku telah melarang kaliang untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarah kuburlah kalian, karena sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan akhirat".

Mansukh hukum :

Rasululllah SAW pernah melarang untuk berziarah kubur pada awal hingga pertengahan islam di masa Beliau. Hal itu dikarenakan iman para sahabat masih kurang kuat, di mana adat dan budaya jahiliyyah masih melekat di kalangan sahabat, jadi dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang menyimpang dari syariat saat berziarah.

Nasikh hukum :

Namun, setelah berjalannya waktu kekhawatiran tersebut sudah mulai menghilang, karena iman para sahabat sudah dibilang cukup kuat. Jadi, Rasulullah SAW kemudian menganjurkan untuk berziarah kubur.

2. Perombakan Hukum Dari Sahabat

Dalam hukum mengenai batal atau tidaknya wudlu karena memakan makanan yang dimasakan dengan api, ada sebuah perombakan hukum, sebagai berikut :

Mansukh Hukum :

كَانَ اٰخِرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

"Ada 2 perkara terakhir dari Rasulullah SAW yaitu meninggalkan wudlu sebab mamakan masakan yang dimasak dengan api".

Hadits tersebut diriwayatkan dari Sahabat Jabir ra, hadits tersebut memberikan hukum bahwa seseorang yang memasak masakan yang dimasak dari api, baik dipanggang, digoreng, dan sebagainya, maka wudlunya menjadi batal.

Nasikh Hukum :

Memang hadits tersebut menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama' fiqih, ada yang berpendapat memang wudlunya bisa batal. Tetapi, jumhur ulama' merombak hukum dalam hadits tersebut, seperti pendapat Imam An-Nawawi dalam Kitab Majmuk juz 4 hal 43 :

ثُمَّ إِنَّ هَذَا الْخِلَافَ الَّذِي حَكَيْنَاهُ كَانَ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ ثُمَّ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ بَعْدَ ذٰلِكَ عَلَى اَنَّهُ لَايَجِبُ الْوُضُوْءُ بِأَكْلِ مَا مَسَّتْهُ النَّارُ، وَاللّٰهُ أَعْلَمُ

"Kemudian, sesungguhnya masalah perselisihan pendapat ini yang telah kami ceritakan, terjadi pada generasi awal. Kemudian, ulama' bersepakat setelah hal itu bahwa tidak wajib wudlu sebab memakan makanan yang dimasak dengan api, Allah SWT lebih mengetahui".

3. Perombakan Hukum Dari Sejarah

Selain dari kedua poin di atas, ada juga perombakan hukum yang dilihat dari sejarahnya.

Mansukh Hukum :

اَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

"Orang yang membekam dan orang yang dibekam maka puasanya batal".

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sahabat Syaddad bin Aus ra, tepatnya pada waktu fathu makkah (penaklukan Kota Mekkah) pada tahun 8 Hijriyyah.

Nasikh Hukum :

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ

"Sesungguhnya Nabi SAW melakukan bekam, sedangkan Beliau sedang ihram dan berpuasa".

Hadits ini diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu Abbas ra, tepatnya pada waktu Haji Wada' (haji pertama dan terkahir yang dilakukan Rasulullah SAW) pada 10 Hijriyyah. Hadits ini juga merombak dan mengganti hukum dari hadits yang diriwayatkan Sahabat  Syaddad bin Aus di atas.