Aku Tak Ingin Membawa Kekecewaan Orang Lain Dalam Hidupku

Pada posting yang tidak begitu penting ini, aku ingin menceritakan sedikit tentang pengalaman kisah cinta yang menurutku paling indah dalam hidupku namun berakhir dengan ketidaktercapaian niat dan tujuan, meskipun tidak ada rasa saling benci di antara kami.

Habibie, begitulah dia menyebutku, aku bukan siapa-siapa, bukan orang kaya, hanya orang biasa yang menjalani hidup dengan biasa pula. Aku lulusan sarjana di salah satu universitas di Surabaya dan memutuskan hidup di desa dengan kehidupan yang sederhana.

Dalam urusan percintaan, aku tidak begitu mempedulikan, bahkan tidak pernah berniat mencari pasangan atau pacar. Namun, hubungan yang kujalani bisa dikatakan datang dan pergi begitu saja tanpa adanya niat dan kesengajaan.

Dialah Ai, begitulah aku mamanggilnya, dia adalah gadis yang berprestasi, polos, dan ceria, yang masih duduk di bangku kelas XII di salah satu SMK di Kota Lamongan.

Kisah cintaku dengan Ai datang begitu saja dan berawal dengan ketidaksengajaan. Dimulai ketika dia mengechatku melalui aplikasi WhatsApp, tak ada rasa cinta di antara kami pada waktu itu. Hari-hari kami jalani dengan semakin sering saling mengechat satu sama lain, sehingga kami sedikit memahami karakter masing-masing, ada banyak kesamaan di antara kami, baik karakter, hobi, dan lainnya.

Ya, rasa cinta itu hadir begitu saja tanpa diundang tanpa diberitahu, bahkan aku sendiri pun tak tahu mengapa. Yang jelas, ada kebaikan dalam dirinya yang membuatku tertarik dan itu membuatku semakin ingin lebih dekat dan lebih dekat lagi dengannya, dia cantik, pandai, suka mengaji, suka bersholawat, dan memiliki tata krama.

Melihat sisi baik dalam dirinya, perasaan pesimis semakin membisik, apalagi selisih umurku yang cukup jauh dengan umurnya. Ya, hatiku selalu berkata, "Mana mau dia menerimaku ? mana pantas aku dengannya ?".

Hingga pada suatu saat, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan kegelisahan atas rasa cintaku yang terpendam. Kata demi kata kususun panjang agar terlihat cukup sempurna sebagai wujud ungkapan perasaan cintaku kepadanya. Namun, jawaban yang kuterima justru sangat mengejutkan, dia hanya menjawab "Apa tidak kurang panjang ?". Rasa ingin tertawa yang tercampur aduk dengan perasaan kecewa, tapi itu tak membuatku jera.

Sejak awal aku jatuh cinta padanya, tak ada niat untuk sekedar bersenang-senang apalagi mempermainkannya. Justru sebaliknya, aku ingin dia menjadi wanita terakhir yang akan selalu menemaniku hingga hari-hari tuaku nanti.

Rasa cintaku menuntunku tuk terus mendekatinya, hingga suatu malam di mana aku memaksanya untuk mengungkapkan perasaaannya kepadaku. Ya, rasa seperti tidak percaya jika dia juga mencintaiku, kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata tentunya.

Sejak saat itu, kami semakin dekat dan cinta kami semakin kuat, meskipun terkadang ada sedikit pertengkaran kecil. Ya, aku sadar akan keegoisanku karena belum bisa menyesuaikan diri dan memahami sikap cueknya.

Bagiku, masa-masa itu begitu indah, rasa bahagia ketika memiliki seseorang yang harus diperjuangkan, seseorang yang bisa menerima keadaan dan kekuranganku, seseorang yang menemani hari-hariku meskipun hanya melalui chatting, dan seseorang yang mau diajak untuk berukar canda dan tawa. Aku bahagia bukan karena memiliki seorang yang indah, tapi bahagia karena mencintainya dengan indah.

Namun, kebahagiaan itu mulai tergeser perlahan saat dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Dalam usiaku yang sudah terbilang cukup tua, rasanya sangat berat untuk menunggunya 4 sampai 5 tahun ke depan, atau bahkan lebih.

Sejak saat itu, yang terlintas di kepalaku hanyalah kesedihan karena takut kehilangannya. Meskipun aku sendiri sadar bahwa cinta tak harus memiliki, namun tetap saja rasa sedih itu terus menghantui, tak kunjung pula semakin gelisah dan semakin bimbang pikiranku.

Sudah berulang aku mengatakan kata perpisahan, namun dia masih tetap memegang tanganku seolah berkata, "jangan pergi !!!". Dalam hari-hari yang penuh kebimbangan, dia membuatku bersemangat lagi dan lagi.

Ya, aku sadar kebulatan tekadku untuk mempertahankannya saat itu masih belum kuat. Dan meskipun aku mendapatkan semangatku kembali, namun aku masih belum bisa menyingkirkan kegelisahanku, rasa takut akan kehilangan dia.

Saking gelisahnya, berkali-kali saat aku mengucapkan "I Love You" sebagai penutup hari sebelum tidur, meskipun lisanku dengan mudahnya mengatakan itu namun serasa sangat berat di dalam hati. Ya, lagi-lagi karena takut kehilangan dia.

Kegelisahan dan ketakutan itu kian hari kian membuatku tak bisa mengontrol pikiranku. Dibanding sebelumnya, saat itu aku lebih sensitif, aku lebih egois, dan dengan mudahnya aku mempermasalahkan hal-hal sepele sehingga terjadi pertengkaran kecil. Ya, waktu itu kami lebih sering bertengkar karena masalah sepele. Semua itu adalah salahku karena terpicu oleh kegelisahan yang memunculkan sifat egoisku. .

Dia bahkan pernah memintaku untuk berjanji agar tidak meninggalkannya, namun aku tidak mau memberi janji manis yang nantinya akan kuingkari. Hal itu bukan berarti aku berniat meninggalkannya suatu saat nanti, hanya saja terasa begitu berat terperangkap dalam penantian yang begitu lama, sedangkan dia pun belum terpikirkan untuk menanggapi keseriusanku. Sempat bertengkar, tapi tak lama kami pun akur lagi.

Sembari tetap menahan rasa sedih, aku masih menjalani hubungan itu seperti biasa. Sifat memanjakan dirinya itu membuatku semakin sayang, tak jarang pula kuungkapkan perasaan sayang dan cintaku, begitu pula dia. Sedangkan dalam lubuk hatiku sendiri, aku sangat berharap bahwa dia akan menjadi milikku suatu saat nanti. Ya, dalam diriku seperti terjadi pertarungan antara harapan dan keputusasaan.

Dia adalah gadis yang bisa menjaga diri dari lawan jenis, tak pernah sekalipun dia jalan-jalan berdua bersama orang-orang di masa lalunya. Sedangkan cinta kami yang semakin tumbuh, membuatku mampu membujuknya untuk keluar jalan-jalan berdua setelah beberapa kali dia menolak. Bukan hanya keinginanku dan juga keinginannya mengukir kenangan bersama.

Aku pun masih ingat jelas, itu adalah momen jalan-jalan berdua bersama lawan jenis untuk pertama kalinya baik bagiku maupun baginya. Momen itu adalah momen indah yang akan selalu kukenang, tampaklah jelas senyum dan tawanya, tampak jelas pula raut wajah cerianya.

Ya, ada hal lucu dari momen itu yang sampai sekarang terkadang membuatku ingin tersenyum. Pertama, saat itu kami mencari tempat salah satu wisata di Lamongan yaitu Akar Langit Trinil, kami mengandalkan Google Map karena memang tak tahu di mana lokasinya. Namun, mungkin dia kurang jeli melihat Google Map sehingga kami kesasar di tengah ladang, kami pun tertawa berbahak-bahak bersama. Kedua, saat kami bersiap melakukan pose selfie, awalnya suasana hening, tiba-tiba sound pun berbunyi keras dan mengagetkan kami. Kedua kasir pun tak kuasa menahan tawa dan meminta maaf kepada kami, malu tapi lucu.

Dalam perjalanan pulang, kami sempat bertukar perasaan. Dia mengungkapkan bahwa seolah dia tak pernah kuhargai atas perjuangan untuk mempertahankanku, mungkin karena sudah beberapa kali aku mengucapkan kata perpisahan. Namun, bukannya aku tidak menghargai, tetapi kebodohan dan kecerobohanku karena begitu mudahnya terpicu oleh kegelisahan bahwa aku mungkin tak bisa bersamanya lagi nanti. Ya, memang aku yang salah dan aku yang bodoh.

Di celah-celah pembicaraan itu, aku sempat juga berusaha untuk menjelaskan keadaanku, ketulusanku, dan membujuknya agar dia mau menjadi wanita halalku. Namun, keinginan tuk belajar dan melanjutkan kuliah menuntunnya untuk tidak memikirkan masalah pernikahan. Aku memahami dan memakluminya, dia masih gadis muda yang memiliki masa depan cerah, sungguh tak pantas jika masa depan itu kurebut.

Waktu pun terus berjalan, tiada hari tanpa berlalu kecuali dia selalu memintaku mengucapkan "I Love You". Dia begitu ngalem dari caranya memanjakan diri padaku dan itu membuatku merasa sangat bahagia. Aku merasa beruntung telah dipilihnya dari sekian banyak kumbang yang mendekatinya, dialah bungaku.

Namun, semakin besar rasa cinta dan sayang itu tumbuh, semakin besar pula aku takut kehilangannya. Ketakutan itu semakin menghantui, semakin membuatku bimbang, dan semakin pula aku ceroboh dalam mengendalikan pikiranku.

Klimaks dari hubungan kami pun akhirnya terjadi. Aku yang pada saat itu merasa bimbang dan bingung, dengan cerobohnya memutuskan hubungan tanpa pertimbangan matang, meskipun hatiku merasa sedih dan berat karena cinta ini masih melekat. Yang jelas, cucuran air matanya menunjukkan perasaan sedih yang mendalam, terluka karena kecewa. Masih pantaskah aku disebut lelaki setia, meinggalkan gadis yang berjuang demi cinta ?.

Sejak saat itu, setiap jam setiap hari, aku semakin larut dalam kesedihan, sedih karena meninggalkan gadis yang kucintai, sedih karena perasaan bersalah telah membuatnya kecewa, kusadari jika keputusanku saat itu salah fatal. Namun, kesedihanku bukan apa-apa dibandingkan rasa sedih yang dia derita.

Penyesalan itu pun muncul karena perasaan tak tega telah membuatnya sedih dan terluka. Kucoba mendekatinya kembali, membisikkan bahwa aku masih mencintainya karena kutahu perasaan kami masih sama.

Sebelumnya, aku memang belum memiliki keberanian untuk datang menemui orangtuanya karena aku paham bahwa belum terbenak di dalam pikirannya untuk membentuk ikatan halal. Tetapi sebagai penebus atas rasa bersalahku, aku sudah berniat dengan sungguh-sungguh akan meminta kepercayaan kepada orangtuanya dan sebisa mungkin bertahan dengan hubungan kami.

Namun, kekecewaan yang telah kutinggalkan di hatinya begitu mendalam, perasaan trauma tak ingin terluka untuk kedua kalinya. Ya, dia memutuskan untuk tak lagi berharap padaku, perpisahan adalah jalan untuk kami berdua.

Sesuatu yang kukhawatirkan pun akhirnya menjadi kenyataan, rasanya seperti benar-benar kehilangan dia. Aku pun hanyut dalam kesedihan bersama badai rindu yang menerjang. Namun, yang membuatku lebih bersedih adalah rasa bersalah telah membuat gadis yang kusayangi terluka dan benar-benar kecewa, serasa tak bisa memaafkan diriku sendiri.

Sejak peristiwa itu, kami tak saling chatting selama sekitar 3 hari. Namun, rasa cinta kami lagi-lagi membisikkan kata rindu. Kuakui bahwa aku masih mencintainya, aku merindukannya, aku rindu akan caranya memanjakan diri padaku, aku rindu kata-kata cintanya padaku, aku rindu caranya mengomeliku, begitu pun dia juga sama.

Tak kuasa menahan rindu, kami pun saling chatting kembali meskipun tak ada kemesraan seperti dulu, kusadar dia masih memiliki perasaan yang sama. Bahkan dia mengajakku melakukan video call dan aku pun menanggapinya dengan senang hati.

Kami saling menatap saling tersenyum seolah mengisyaratkan betapa rindunya kami. Meskipun demikian, namun luka dan kekecewaan yang kuukir di hatinya memaksanya agar aku segera mencari pengganti dirinya. Ya, di akhir-akhir pembicaraan dia memintaku hal yang sulit, jelas saja tak mudah bagiku melupakannya begitu saja, aku menolak.

Namun, dia terus memaksa agar aku mencari pengganti dirinya. Tetes air mata yang mengalir di pipinya menunjukkan beratnya kesedihan yang dia rasakan, itu adalah pertama kalinya kumelihatnya menangis dengan mataku sendiri. Awal pembicaraan yang dihiasi tawa dan senyum harus berakhir dengan kesedihan, lagi-lagi aku membuatnya bersedih dan menangis.

Rupanya, air mata yang menetes tanpa bisa dibendung itu menyadarkan akan kebodohan dan kegagalanku tak mampu mempertahankannya. Air mata itu meluluhkan hatiku, jiwaku pun ikut terdorong untuk menguatkan niatku tetap memperjuangkannya seberat apapun nanti.

Ya, aku sudah membulatkan tekad untuk tetap memperjuangkannya, bahkan aku akan berjanji tak kan lagi meninggalkannya, bukan hanya janji manis tapi janji itu adalah tanggung jawab dan kewajiban yang harus kubawa.

Keesokan harinya, kami masih saling chat satu sama lain seperti biasa. Hingga saat malam tiba, aku mengutarakan keinginanku. Entah apa yang salah dengan kata-kataku, aku hanya memberinya dua pilihan, tetap kuperjuangkan atau aku mundur.

Jika dia mau kuperjuangkan lagi, percayalah kesalahan fatalku telah menyadarkanku akan bodohnya diriku, aku sudah bertekad untuk berjanji tak kan meninggalkannya, aku akan menunggunya seberat apapun itu, juga sebagai penebus akan kesalahanku karena dia begitu berharga bagiku. Jika dia tak lagi mau kuperjuangkan, mungkin di sinilah batas perjuanganku tuk memilikinya.

Namun, kekecewaan dan luka dalamnya membuatnya memutuskan perpisahan adalah jalan terbaik. Mendengar jawaban itu, hatiku serasa hancur seolah tak ada lagi yang bisa kuperbuat, aku telah menyia-nyiakan orang yang benar-benar menyanyangiku, itulah salahku.

Aku tak tahu, mungkin ada alasan lain yang dia sembunyikan mengapa dia ingin berpisah, padahal dalam perasaan kami masih saling mencintai. Tapi yang jelas keadaan dan waktu yang memaksa kami berpisah, dia belum ingin membentuk ikatan halal dan masih ingin melanjutkan pendidikan, sedangkan umurku yang sudah dibilang cukup tua menuntun untuk segera mendapatkan teman hidup, dia hanya tidak tega membuatku menunggu terlalu lama. Jika ada yang patut disalahkan, itu adalah aku, karena aku telah mencintai dan memberikan harapan semu padanya.


Habibie Untuk Ai :

Jika suatu saat kamu membaca tulisan ini, ketahuilah bahwa masa-masa bersamamu begitu indah, meskipun kamu menganggapnya kenangan buruk. Jika suatu saat nanti kamu rindu, bacalah coretan singkat yang kutulis ini karena inilah ungkapan perasaanku padamu selama ini.

Terima kasih atas kenangannya meskipun waktu tak mengizinkan lama. Maaf telah membuatmu menangis, maaf telah membuatmu bersedih, maaf telah membuatmu gelisah, maaf telah membuatmu terluka dan kecewa, dan maaf telah memberimu kenangan buruk.

Aku berharap kamu bisa bahagia suatu saat nanti, hari di mana aku mungkin akan menyesal namun tetap tersenyum melihatmu bahagia. Suatu saat pula, kamu mungkin akan bersyukur pernah lepas dariku, kutunggu kabahagiaanmu.

Percayalah, perasaanku masih sama saat menulis kisah ini, aku masih menyayangimu apa adanya, dan terkadang aku masih berharap akan ada kisah indah yang bisa kutulis lagi untuk melanjutkan kisah ini. Terima kasih Ai, aku sayang kamu.

Ai, kau pernah jadi yang terindah, namun aku sadar kau terlalu indah untuk kumiliki, kutunggu bahagiamu