Hukum Menghadiahkan Pahala Shodaqoh Untuk Mayit (Tahlilan, Yasinan, dan Slametan)

Hukum Menghadiahkan Pahala Shodaqoh Untuk Mayit

Menghadiahkan pahala shodaqoh untuk orang yang sudah meninggal merupakan hal yang diperbolehkan menurut Ijma' (kesepakatan para ulama'), juga pendapat para madzhab. Hal ini didasarkan pada hadist yang dijadikan hujjah dalam mengambil hukum ini.

Dasar Tentang Kebolehan Menghadiahkan Pahala Shodaqoh Kepada Mayit
Pada posting sebelumnya, sudah kami singgung sedikit tentang masalah menghadiahkan pahala shodaqoh kepada mayit, dengan didasari dengan hadist dan pendapat para ulama', yang diambil dari Kitab Hujjah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah karya KH. Maksum Ali, al-maghfurlah. Jadi, posting ini bertujuan untuk memperkuat posting sebelumnya.

Baca selengkapnya : Sampainya Pahala Shodaqoh dan Membaca Al-Qur’an Kepada Ahli Kubur.

Adapun dasar hadist penguat adalah sebagai berikut :
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَإِنِّيْ أَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ لَتَصَدَّقَتْ فَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا وَلِيَ أَجْر ؟ٌ قَالَ : نَعَمْ
Sesungguhnya seorang laki-laki datang menemui Nabi SAW, kemudian dia berkata; "Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara mendadak dan ia tidak memberikan wasiat. Aku perkirakan apabila ia dapat berbicara, maka niscaya ia melakukan sedekah, apakah ibuku mendapat pahala apabila aku bershodaqoh dan juga aku mendapatkan pahala ?". Rasulullah SAW menjawab : "Ya"". (Hadits Ibnu Majah Nomor 2708, Hadits Bukhari Nomor 2554, Hadits Bukhari Nomor 1299, Hadits Muslim Nomor 3082, Hadits Nasai Nomor 3589, dan Hadits Malik Nomor 1255).

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ أَخَا بَنِي سَاعِدَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللّٰهِ إِنَّ أُمِّيْ تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا فَهَلْ يَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَالَ : فَإِنِّيْ أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Sa’ad bin ‘Ubadah ra, saudara dari Bani Sa’idah, ibunya telah meninggal dunia lalu dia datang menemui Nabi SAW seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sedang saat itu aku tidak ada di sisinya. Apakah akan bermanfaat baginya bila aku menshodaqohkan sesuatu untuknya ?” Beliau bersabda: “Ya”. Dia berkata: “Aku bersaksi kepada Tuan bahwa kebunku yang penuh dengan bebuahannya ini aku shadaqahkan atas (nama)-nya”. (Hadits Bukhari Nomor 2556).

لَا يَأْتِيْ عَلٰى الْمَيِّتِ اَشَدُّ مِنَ اللَّيْلَةِ الْاُوْلٰى، فَارْحَمُوْا بِالصَّدَقَةِ مَنْ يَمُوْتُ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ فِيْهَا اَىْ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهُمَا فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَاٰيَةَ الْكُرْسِيِّ مَرَّةً وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ مَرَّةً وَقُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ عَشَرَ مَرَّاتٍ وَيَقُوْلُ بَعْدَ السَّلَامِ : اَللّٰهُمَّ اِنِّيْ صَلَّيْتُ هٰذِهِ الصَّلَاةَ وَتَعْلَمُ مَا اُرِيْدُ، اَللّٰهُمَّ ابْعَثْ ثَوَابَهَا اِلٰى قَبْرِ فُلَانِ ابْنِ فُلَانٍ، فَيَبْعَثُ اللّٰهُ مِنْ سَاعَتِهِ اِلٰى قَبْرِهِ اَلْفَ مَلَكٍ مَعَ كَلِّ مَلَكٍ نُوْرٌ وَهَدِيَّةٌ يُؤْنِسُوْنِهُ اِلٰى يَوْمِ يُنْفَحُ فِى الصُّوْرِ
Tidaklah datang kepada mayyit perkara yang lebih berat daripada pada malam pertama. Maka kasihanilah orang yang sudah meninggal dengan shodaqoh. Barang siapa yang tidak menemui (sesuatu untuk dishodaqohkan), maka hendaklah ia melakukan sholat dua rokaat, membaca di kedua rokaat itu maksudnya di setiap rokaat dari kedua rokaat, fatihah kitab (surat Al-Fatihah) sekali, ayat kursi sekali, surat Alhakumuttaka tsur (surat At-Takatsur) sekali, surat Qul huwallahu ahad (Surat Al-Ikhlas) sepuluh kali, dan kemudian membaca doa setelah salam “Ya Allah sesungguhnya aku melakukan sholat ini dan Engkau mengerti apa yang aku inginkan. Ya Allah limpahkanlah pahala sholat ini kepada kuburan fulan bin fulan (sebutkan nama keluarga yang meninggal)”. Maka Allah akan mengutus seketika itu kepadanya (mayyit) seribu malaikat, di mana setiap malaikat membawa cahaya dan hadiah untuk menentramkannya sampai hari ditiupnya sangkakala”.

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ فَقَالَ السَّائِلُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ اِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوْتَانَا وَنَحُجُّ عَنْهُمْ وَنَدْعُوْ لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذٰلِكَ اِلَيْهِمْ ؟ قَالَ نَعَمْ اِنَّهُ لَيَصِلُ اِلَيْهِمْ وَاَنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُمْ بِالطَّبْقِ اِذَا اُهْدِيَ اِلَيْهِمْ
"Sesungguhnya Nabi SAW pernah ditanyai, kemudian si penanya berkata : Wahai Rosulullah sesungguhnya kami bershodaqoh kepada orang-orang mati kami, menunaikan haji untuk mereka, dan berdoa untuk mereka, apakah hal itu akan sampai kepada mereka ?. Rosulullah menjawab : Iya, sesungguhnya hal itu (pahalanya) akan sampai kepada mereka dan mereka akan merasa bahagia karenanya seperti halnya salah satu dari kamu yang merasa bahagia atas wadah (berisi makanan) ketika diberikan kepada mereka".

Dalam Kitab Washiyatul Musthofa, Nabi SAW berwasiat kepada Sahabat Ali bin Abi Tholib :
يَا عَلِيُّ تَصَدَّقْ عَلٰى مَوْتَاكَ فَاِنَّ اللّٰهَ وَكَّلَ مَلَائِكَةً يَحْمِلُوْنَ صَدَقَاتِ الْاَحْيَاءِ اِلَيْهِمْ فَيَفْرَحُوْنَ بِهَا اَشَدَّ مَا كَانُوْا يَفْرَحُوْنَ فِي الدُّنْيَا وَيَقُوْلُوْنَ اَللّٰهُمَ اغْفِرْ لِمَنْ نَوَّرَ قَبْرَنَا وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ كَمَا بَشَّرَنَا بِهَا
"Wahai Ali, berilah shodaqoh kepada orang matimu, karena sesungguhnya Allah memasrahkan kepada para malaikat untuk membawa shodaqoh orang-orang yang masih hidup kepada mereka, kemudian mereka merasa bahagia karena shodaqoh itu, lebih bahagia atas apapun yang ada di dunia dulu, dan mereka berdoa "Ya Allah ampunilah orang yang telah menerangi kubur kami dan berilah dia berita gembira dengan surga sebagaimana dia memberikan kegembiraan kepada kami dengan shodaqoh ini"".

Hukum Bershodaqoh Untuk Mayit Dalam Acara Tahlilan, Yasinan, dan Slametan
Nah, masyarakat Indonesia sendiri, khususnya masyarakat Jawa, kita mengenal adanya budaya islami yang dikenal dengan "Tahlilan, Yasinan, dan Slametan". Ini adalah budaya islami untuk memberikan kemanfaatan kepada ahli kubur yang dibungkus dengan doa, membaca dzikir, membaca Al-Qur'an, dan shodaqoh yang dihadiahkan kepada mayit.

Sedangkan dari beberapa hadist di atas, menunjukkan bahwa pahala shodaqoh yang dihadiahkan kepada mayit pasti akan sampai tanpa adanya aturan tertentu. Artinya, kapapnpun, di manapun, dan dengan cara apapun maka pahala shodaqoh yang dihadiahkan kepada mayit pasti akan sampai.

Meskipun demikian, masih saja banyak orang yang menolak keberadaan budaya tahlilan, yasinan, dan slametan. Padahal di dalam proses berlansungnya budaya tahlilan, yasinan, dan slametan tidak ada unsur yang bersifat kemusyrikan, pekerjaan yang melalaikan dzikir kepada Allah SWT, kemaksiatan, dan semacamnya.

Kita mengetahui bahwa apa yang dilakukan di dalam tahlilan, yasinan, dan slametan adalah berdoa, membaca dzikir, membaca Al-Qur'an, dan bershodaqoh yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit atau ahli kubur. Bahkan, budaya tahlilan, yasisnan, dan slametan merupakan suatu pekerjaan yang bermaslahah bagi orang yang melakukan juga bagi mayit.

Lalu, apanya yang salah ? apakah Nabi SAW memberikan aturan tidak boleh bershodaqoh dengan mengumpulkan tetangga, teman-teman, dan keluarga dalam forum tertentu ? apakah Nabi SAW memberikan aturan tidak boleh bershodaqoh dalam waktu-waktu tertentu ? apakah Nabi SAW melarang menyusun beberapa dzikir yang diamalkan dalam cara tertentu ?. Jawabannya sudah jelas "TIDAK".

Dengan demikian, kita boleh bahkan sunnah untuk menghadiahkan pahala shodaqoh untuk mayit, baik dengan cara kumpul-kumpul dalam acara tahlilan, bershodaqoh jariyah ke masjid, bershodaqoh kepada fakir, miskin, dan anak yatim, bershodaqoh kepada pengemis, dan lain sebagainya. Dan pahalanya pasti akan sampai kepada mayit.

Bantahan Untuk Orang Yang Mengatakankan Tahlilan, Yasinan, dan Slametan 100% Salah
Kami membaca dalam salah satu situs menyalahkan 100% budaya tahlilan, yasinan, dan slametan, seperti screenshot di bawah ini :


Jika penulis situs itu menyatakan bahwa kami adalah orang yang tidak bisa membedakan antara shodaqoh atas nama mayit dengan peringatan kematian di rumah duka, maka kami menilai betapa sempitnya pemikiran seperti itu :

Pertama, penulis situs itu menyatakan bahwa "Nabi SAW tidak menyarankan agar (tahlilan, yasinan, dan slametan) dilakukan acara tertentu". Pertanyaannya adalah manakah kalimat hadist yang menyatakan Nabi SAW tidak menyarankan dengan acara tertentu ? TIDAK ADA. Yang jelas Nabi SAW tidak memberikan aturan dalam melaksanakn shodaqoh untuk mayit. Artinya, kita boleh bershodaqoh dengan mengundang banyak orang dalam forum tertentu atau secara langsung misalnya ke kotak amal masjid.

Kedua, penulis situs itu menyatakan bahwa "kapanpun, bagaimanapun, dan di manapun shodaqoh itu dilakukan, jika itu atas nama mayit, insya'allah pahalanya akan sampai kepada mayit". Justru pernyataan ini membenarkan argumen kami bahwa tidak ada ikatan aturan dalam bershodaqoh untuk mayit, boleh melalui acara tahlilan, yasinan, dan slametan, atau boleh secara langsung.

Ketiga, penulis situs itu menyatakan "seorang mukmin ketika ditanya, apakah sedekah harus menggunakan acara tahlilan dan yasinan, kemudian kumpul di rumah mayit ? mereka akan menjawab : tidak harus". Memang tidak harus karena faktanya tahlilan dan yasinan bukan suatu keharusan, itu hanya budaya islami yang tetap dilestarikan, yang sudah dilakukan sejak masa mbah-mbah kami, yang diajarkan oleh para penyebar agama islam terdahulu. Dan perlu dikatehui bahwa sedekah yang kami lakukan tidak hanya dengan melaksanakan acara tahlilan, tetapi juga sedekah secara langsung tanpa mengumpulkan banyak orang.

Keempat, penulis situs itu menyatakan "manakah yang lebih mendekati ikhlas, sedekah dengan mengundang tetangga ataukah sedekah diam-diam tanpa diketahui banyak orang ?". Keikhalasan atas keluarnya shodaqoh didasarkan pada hati pelakunya, hanya Allah SWT yang mengetahui ikhlas atau tidak ikhlasnya seseorang. Yang jelas, sangat tidak bijaksana jika mengaitkan masalah shodaqoh untuk mayit dengan keikhlasan, karena tujuan tahlilan, yasinan, dan slametan bukan dilihat dari ikhlas atau tidak ikhlasnya harta yang dikeluarkan tetapi untuk memberikan kemanfaatan kepada mayit. Kami bisa mengasumsikan jika manakah yang mendekati ikhlas menolong orang secara terang-terangan atau menolong orang secara diam-diam ?. Ini adalah pertanyaan yang serupa, jadi apakah kamu hanya mau menolong orang secara diam-diam saja ? jelas tidak.

Kelima, penulis situs tersebut membantah dengan mendasarkan dalil dalam Kitab I'anatut Tholibin, sebagaimana berikut ini :
ويكره لأهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
"Dimakruhkan bagi keluarga mayit duduk untuk ta'ziyah (menyambut, menerima, dan menyenangkan orang yang berta'ziyah) dan membuat (menyuguhkan) makanan kepada orang-orang yang berkumpul untuk menikmati makanan itu. Hal ini didasarkan atas riwayat Ahmad bin Jarir bin Abdullah Al-Bajli berkata, "Kami kembali pada ijma' (kesepakatan ulama') atas keluarga mayit dan mereka membuatkan makanan setelah mayit dipendam merupakan bentuk niyahah (meratapi mayit)"". (Penulis situ juga menjelaskan penjelasan seterusnya dalam Kitab I'anatut Tholibin bab ta'ziyah).

Dasar yang digunakan untuk menyalahkan tahlilan, yasinan, dan slametan tersebut sangatlah tidak sesuai, karena penjelasan itu terkait bab ta'ziyah pada orang yang terkena musibah. Pasalnya, mengundang banyak orang untuk tahlilan dan orang-orang yang menghadiri acara tahlilan bukan lagi untuk berta'ziyah tetapi semata-mata untuk mendoakan dan menghadiahkan pahala kepada mayit. Meskipun JIKA tahilan, yasinan, dan slametan ada sedikit kesesuaian dengan bab ta'ziyah (misalnya loh ya), maka tahlilan jauh dari bentuk niyahah atau meratapi mayit.

Baca lebih jelas tentang niyahah (meratapi mayit) : Hukum Menangis dan Meratapi (Niyahah) Orang Yang Meninggal Dunia.

Catatan Penting :
Posting ini tidak bertujuan untuk memecah belah, menghujat, mencaci maki, atau sebagainya. Adapun masalah perbedaan pemahaman, maka hal itu jangan terlalu dibesar-besarkan karena ini hanya masalah khilafiyah, kita semua berhak meyakini apa yang kita yakini, terima kasih.

Wallahu a'lam bis showab,