Hukum Minum Air Kencing Unta Berdasarkan Kontekstual Hadist

Hukum Meminum Air Kencing Unta

Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan wacana halalnya meminum urin atau air kencing unta. Tentu saja ini menarik banyak perdebatan di kalangan umat islam sendiri dari berbagai ormas islam, ada yang mengatakan bahwa air kencing unta adalah halal dan ada yang mengatakan bahwa air kencing unta adalah najis dan haram diminum.

Bertolak dari sinilah, saya tertarik untuk menulis seklumit coretan mengenai hukum meminum air kencing unta. Saya sendiri mengikuti Madzhab Imam Syafi’i, dan saya bukanlah orang yang pandai dalam ilmu agama islam, hanya orang awam yang tergugah untuk menengahi masalah halalnya meminum air unta agar tidak menjadi perbebatan panjang yang tiada henti. Semoga tulisan sederhana ini mampu memberi manfaat khususnya kepada diri saya sendiri dan umumnya kepada pembaca.


Hukum Meminum Air Kencing Unta Menurut Para Madzhab

Didasarkan pada sebuah hadist shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوْا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا فَلَمَّا صَحُّوْا قَتَلُوْا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوْا النَّعَمَ فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيْءَ بِهِمْ فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوْا فِي الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُوْنَ فَلَا يُسْقَوْنَ

Dari Anas bin Malik berkata, "Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi SAW dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi SAW menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi." (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Imam Maliki dan Imam Hambali, hukum air kencing dan kotoran hewan yang halal makan (seperti ayam, kambing, sapi, unta, dan lain-lain) disamakan dengan hukum memakan dagingnya yaitu tidak najis. Begitu juga sebaliknya, hewan-hewan yang haram dimakan, maka tentu saja air kencing dan kotorannya pun menjadi najis. Demikian juga sama dengan hewan-hewan yang makruh dimakan. Salah satu dasar yang digunakan oleh kedua madzhab ini (Imam Maliki dan Imam Hambali) adalah hadist yang sudah tertera di atas.

Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanafi, hukum air kencing, kotoran, dan muntah dari manusia dan hewan adalah najis, dan segala perkara najis adalah haram baik dimakan maupun diminum. Salah satu alasan logis mengapa air kencing, kotoran, dan muntah itu dihukumi najis adalah karena perkara yang menjijikkan. Hal ini juga dikuatkan dengan beberapa hadist yang akan saya kutib pada penjelasan selanjutnya.


Menelusuri Jejak Perbedaan Pendapat Para Madzhab Dalam Hukum Air Kencing dan Kotoran

Perbedaan pendapat mengenai masalah hukum fiqih di kalangan para madzhab dan ulama’ ahi fiqih memang bukanlah perkara asing, ada alasan dan dasar masing-masing. Nah, dalam pembahasan mengenai hukum air kencing dan kotoran binatang, maka ada beberapa hadist yang perlu dipahami terlebih dahulu :

Hadist pertama, diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Samurah ra :

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ قَالَ لَا

"Dari Jabir bin Samurah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing ?" Beliau menjawab, "Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu." Dia bertanya lagi, "Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?" Beliau menjawab, "Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta." Dia bertanya, "Apakah aku boleh shalat di kandang kambing?" Beliau menjawab, "Ya boleh." Dia bertanya, "Apakah aku boleh shalat di kandang unta?" Beliau menjawab, "Tidak."".  (HR. Muslim).

Hadist kedua, diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas ra :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

"Dari Ibnu 'Abbas berkata, "Rasulullah SAW lewat di dekat dua kuburan, lalu beliau bersabda : "Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba". Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini ?". Beliau menjawab : "Semoga siksa keduanya diringankan selama batang pohon ini basah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist ketiga, diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوْهُ وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِيْنَ

"Abu Hurairah berkata, "Seorang Arab badui berdiri dan kencing di Masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi SAW pun bersabda kepada mereka : "Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan." (HR. Bukhari).


Menelusuri perbedaan pendapat berdasarkan hadist di atas :

Dikutip dari situs nu.or.id, bahwa Imam Rusyd mencoba untuk menganalisa penyebab terjadinya perbedaan para madzhab mengenai najis atau tidaknya air kencing dan kotoran hewan :

"Sebab perbedaan pandangan mereka terdiri atas dua hal : Pertama, perbedaan mereka dalam memahami status mubah shalat Rasulullah SAW di kandang kambing, izin Rasulullah SAW kepada Uraniyin untuk meminum susu dan air kencing unta, dan larangan Rasul untuk shalat di kandang unta. Kedua, perbedaan mereka dalam menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia. Ulama yang menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia dan memandangnya dari qiyas aulawi atau lebih-lebih lagi utama–, dan tidak memahami dari status mubah shalat di kandang kambing sebagai kesucian kotoran dan kencingnya di mana itu menjadi ibadah–, dan orang yang memahami izin meminum air kencing unta sebagai kepentingan pengobatan, akan berpendapat bahwa semua kotoran dan kencing makhluk hidup dari jenis apapun adalah najis. Sedangkan ulama yang memahami kesucian kotoran dan kencing kambing dari hadits yang membolehkan shalat di kandang kambing, dari hadits masyarakat Uraniyin, atau larangan shalat di kandang unta sebagai makna lain selain najis, di mana baginya jelas perbedaan antara jenis manusia dan jenis hewan di mana kotoran sisa dari manusia dianggap kotor secara alamiah, tidak berlaku pada kotoran sisa dari jenis hewan, memandang status kotoran sisa jenis makhluk apapun sesuai dengan kategori daging tersebut (halal atau haram di makan). Wallahu a‘lam,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan kelima, 2013 M/1434 H, halaman 79-80)".


Kesimpulan Hukum Meminum Air Kencing Unta

Dari beberapa paparan penjelasan di atas, maka di sini saya mau mengajak untuk berpikir secara bijak dalam memahami hadist Rasulullah SAW mengenai izin Beliau kepada masyarakat Uraniyin. Asbabul wurud dari hasit tersebut (sebab yang menjadikan adanya hadist tersebut) dikarenakan pada waktu itu masyarakat Uraniyin dilanda sakit, sedangkan Nabi SAW menganjurkan untuk meminum air kencing unta untuk mengobati sakit. Jadi, halalnya meminum air kencing unta haruslah didasarkan untuk PENGOBATAN, bukan untuk KONSUMSI TANPA SEBAB.

Bagi masyarakat Syafi'iyyah (penganut Madzhab Syafi'i) yang meyakini bahwa air kencing unta adalah perkara najis maka kebolehan meminum perkara najis (air kencing unta) harus dikarenakan ketika dalam keadaan dharurat atau terpaksa, dengan syarat sebagai berikut :

Tidak ada lagi obat selain air kencing unta. Jadi, di zaman modern yang sangat didukung ilmu kesehatan, maka jika masih banyak obat halal, hukum meminum air kencing unta untuk pengobatan adalah haram. 

Keadaan yang menuntut untuk mengobati penyakit dengan air kencing unta, misalnya karena kemiskinan sehingga tak mampu membeli obat, sulitnya mendapatkan obat-obatan karena berada di daerah pelosok, dan lain-lain.

Air kencing unta sudah terbukti secara medis dapat menyembuhkan penyakit yang diderita (dari hasil uji coba dan penemuan pakar kesehatan).

Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui, kebenaran hanyan milik-Nya.

Penulis : Abdul Mudznib.