Hukum Meriwayatkan Hadits Dengan Makna

Hukum Meriwayatkan Hadits Dengan Makna

Dalam dunia periwayatan hadits, mengubah bentuk matan hadits bukanlah hal asing menurut para ulama' ahli hadits. Pasalnya, dari beberapa riwayat hadits, terkadang kita menemui adanya perbedaan pada bentuk matan hadits satu dengan lainnya, padahal memiliki sanad yang sama.


Hukum Meriwayatkan Hadits Dengan Mengubah Bentuk Kalimat

Merubah bentuk kalimat pada suatu hadits kemudian meriwayatkannya, jika demikian itu bertentangan dengan makna hadits sendiri maka jelaslah sangat dilarang dan diharamkan. Pelarangan dalam merubah bentuk kalimat yang menyimpang dari makna hadits tentu saja bisa mengakibatkan :

  • Penyimpangan hukum karena bertentangan dengan syar'i, sehingga akan sangat berbahaya jika sampai disebarluaskan dan menjadi hukum yang tertancap di kalangan umat islam. 
  • Munculnya hadits-hadits palsu
  • Merusak kemurnian hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW. Jika kemurnian hadits sudah rusak, tentu kualitasnya sebagai pedoman hukum kedua setelah Al-Qur'an akan diragukan.
  • Dan lain sebagainya.

Nah, adapun merubah bentuk kalimat hadits, jika perubahan itu tidak bertentangan dengan makna hadits itu sendiri, maka bisa dibaca secara cermat pada penjelasan berikut di bawah.


Hukum Meriwayatkan Hadits Hanya Dengan Maknanya Saja

Meriwayatkan hadits hanya dengan maknanya memang menjadi sebuah hukum yang diperselisihkan menurut para ulama' ahli hadits, bahkan di dalam era para sahabat sendiri, di antaranya hukumnya adalah sebagai berikut ini :

1. Tidak Boleh

Sebagian ulama' tidak memperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan maknanya saja, di antaranya adalah Muhammad bin Sirrin (seorang tabi'in generasi awal), Imam Maliki (seorang tabi'it tabi'in), Al-Qadli Abu Bakar bin Al-A'rabi, dan sebagainya. Sebagian ulama' ini mengharuskan untuk meriwayatkan hadits dengan lafadz dan kalimat yang sama persis tanpa adanya perubahan.

Larangan meriwayatkan hadits dengan makna tentu beralasan logis, yaitu demi menjaga kualitas dan kemurniaan hadits dari segala macam yang tidak bersumber dari Rasulullah SAW. Pasalnya, jika meriwayatkan hadits dengan makna diperbolehkan, tentu hal ini dikhawatirkan akan menjadi lahan pembuka untuk memunculkan lafadz dan kalimat hadits yang tidak bersumber dari Rasulullah SAW, sehingga perubahan di dalam kalimat memungkinkan dapat mempengaruhi perubahan makna juga.

Nah, untuk beberapa kasus di mana beberapa sahabat terkadang mengubah, mengurasi, dan menambah suatu kalimat di dalam hadits, maka Al-Qadli Abu Bakar bin Al-A'rabi berpendapat bahwa meriwayatkan hadits dengan makna hanya boleh dilakukan oleh para sahabat, sedangkan generasi setelah sahabat tidak diperbolehkan. Demikian itu, karena para sahabat adalah orang-orang yang secara langsung bertemu, belajar, dan bersosialiasi bersama Rasulullah SAW.

Pada kasus Sahabat Al-Bara', Rasulullah SAW sendiri melarangnya untuk mengganti kalimat "Nabi" dalam sebuah menjadi kalimat "Rasul".

Pada kasus yang lain, Sahabat Ibnu Abbas ra merupakan sahabat yang tidak pernah menambahi, mengurangi, melebihkan, atau meringkas sebuah hadits yang diriwayatkannyanya, bahkan mengecam keras pada orang yang mengubah kalimatnya, seperti ketika Sahabat Ubaid bin Umair meriwayatkan sebuah hadits dengan kalimat :

مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمِثْلِ الشَّاةِ الرَّابِضَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ

"Perumpamaan orang munafiq seperti domba yang berbaur di antara 2 kambing".

Sahabat Ibnu Umar ra yang mendengarnya pun mengecam :

وَيْلَكُمْ لَا تُكَذِّبُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اِنَّمَا قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمِثْلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ

"Celakalah kamu, jangan berdusta atas nama Rasulullah SAW, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Perumpamaan orang munafiq seperti domba yang kebingungan di antara 2 kambing"".


2. Boleh Tetapi Dengan Syarat

Terlepas dari pendapat sebagian ulama' yang tidak memperbolehkan di atas, mayoritas ulama' membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna, tetapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seperti yang akan dijelaskan di bawah nanti.

Dalam Kitab Mintahul Mughits, Bab Meriwayatkan Hadits Dengan Maknanya, dijelaskan sebagai berikut ini :

هِيَ اَنْ يُغَيِّرَ لَفْظُهُ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ دُوْنَ مَعْنَاهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّهَا جَائِزَةٌ لِلْعَالِمِ الَّذِيْ لَا يُخِلُّ بِشَيْئٍ مِنَ الْمَقْصُوْدِ لِبَرَاعَتِهِ وَقُوَّةِ تَصَرُّفِهِ فِيْ الْكَلَامِ

"(Meriwayatkan hadits dengan maknanya saja) yaitu merubah lafadznya dengan sebuah versi (bahasa sendiri) dari beberapa versi, namun tidak merubah maknanya. Menurut pendapat yang shahih, bahwa hal itu diperbolehkan bagi orang yang alim yang mana (perubahan itu) tidak menyimpang dari maksud hadits, karena kepandaian dan kuatnya kemempuannya dalam mengolah perkataan".

Adapun alasan yang mendasari kebolehan meriwayatkan hadits dengan makna dikarenakan para sahabat sendiri terkadang meriwayatkan hadits, baik dengan merubah ataupun memberi penambahan suatu kalimat di dalam hadits.

Ketika Sahabat Abdullah bin Sulaim bin Ukaimah mengadu kepada Rasulullah SAW tentang kekurangannya dalam menghafal hadits-hadits yang didengar :

يَارَسُوْلَ اللّٰهِ، اِنِّيْ اَسْمَعُ مِنْكَ الْحَدِيْثَ وَلَا اَسْتَطِيْعُ اَنْ اُوْدِيَهُ اِلَيْكَ كَمَا اَسْمَعُ مِنْكَ، يَزِيْدُ حَرْفًا اَوْ يُنْقِصُ حَرْفًا، فَقَالَ : اِذَا لَمْ تُحِلُّوْا حَرَامًا وَتُحَرِّمُوْا حَلَالًا وَاَصَبْتُمُ الْمَعْنَى فَلَا بَأْسَ

 "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar hadits darimu, namun aku tak mampu mendatangkannya kepadamu sebagaimana aku mendengarnya darimu, dia (Sahabat Abdullah bin Sulaim) menambahi satu huruf atau mengurangi satu huruf. Rasulullah SAW pun berkata, "Ketika kamu tidak menghalalkan perkara haram dan tidak mengharamkan perkara halal, sedangkan kamu mendapati makna (hadits), maka tidak apa-apa".

Salah satu sahabat, yaitu Zararah bin Aufa ra pernah mengatakan :

لَقِيْتُ عِدَّةً مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاخْتَلَفُوْا عَلَيَّ فِي اللَّفْظِ وَاجْتَمَعُوْا فِيْ الْمَعْنَى

"Aku bertemu sejumlah sahabat Nabi SAW, mereka memperselisihkanku di dalam lafadz hadits, namun mereka bersepakat di dalam maknanya".

Beberapa sahabat lain, di antaranya adalah Sahabat Abdullah bin Mas'ud dan Sahabat Abu Darda', terkadang mengikutkan beberapa kalimat tambahan "اَوْ نَحْوَ هٰذَا" (atau seperti hadits ini) dan "اَوْ شَبَّهَهُ" (atau yang menyerupai hadits itu) setelah meriwayatkan hadits. Sedangkan Sahabat Anas bin Malik terkadang mengikutkan kalimat "اَوْ كَمَا قَالَ" (atau sebagaimana yang dikatakan Nabi SAW) setelah meriwayatkan hadits. Ini menunjukkan bahwa ada beberapa perubahan dalam kalimat hadits tersebut.

Beberapa contoh penambahan dalam matan hadits dengan kalimat sahabat sendiri, bisa dilihat pada poin berikut ini, kebetulan contoh-contoh haditsnya adalah shahih : Pengertian dan Contoh Hadits Mudraj.

Adapun syarat-syarat meriwayatkan hadits dengan maknanya, maka Syekh Muhammad Shalih bin Utsaimin (seorang ulama' yang pernah menjabat sebagai MUI di Negara Arab) dalam Kitab Majmuknya menjelaskan bahwa syaratnya adalah :

Pertama, yang meriwayatkannya harus orang yang memahami betul tentang makna hadits itu sendiri, sebagaimana penjelasan dalam Kitab Minhatul Mughits di atas.

Kedua, meriwayatkannya harus di dalam keadaan terpaksa, misalkan karena lupa beberapa lafadznya. Jika setelahnya kemudian dia mengingat, maka boleh tidak mengubah atau membenarkannya, kecuali jika terdorong olehnya untuk memberikan kefahaman lebih benar kepada orang yang diajak bicara

Ketiga, periwayatannya harus diikuti dengan kalimat "اَوْ نَحْوَ هٰذَا", "اَوْ شَبَّهَهُ", atau "اَوْ كَمَا قَالَ" sebagaimana yang dilakukan beberapa sahabat yang sudah dijelaskan di atas.

Nah, dari beberapa pendapat yang membolehkan di atas, itulah mengapa banyak ulama' yang terkadang meriwayatkan hadits dalam bentuk maknanya, banyak juga ditemui di beberapa kitab kuning yang dikaji di pondok-pondok pesantren mengenai periwayatan hadits dalam bentuk maknanya saja, bahkan beberapa kyai di Indonesia sendiri juga sudah sering melakukan hal tersebut, baik dalam pengajian maupun ketika menjelaskan kajian kitab kuning.

Wallahu a'lam bis showab.