Gus Muwafiq, Sejarah Pancasila Sila Pertama oleh KH. Hasyim Asy'ari
Dalam salah satu mauidloh hasanah yang disampaikan oleh Gus Muwafiq dalam acara peringatan Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh MWC NU Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, pada Selasa tanggal 4 Juni 2013, beliau menceritakan tentang sejarah besar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila sila yang pertama.
Gus Muwafiq menjelaskan bahwa Indonesia adalah negeri yang diberkahi oleh Allah SWT dalam “satu payung bersama”. Indonesia mampu menampung banyak faham keislaman, agama, dan budaya tanpa adanya konflik-konflik kekerasan seperti pada negera-negara lain.
Hal itu tercermin dalam banyaknya faham keislaman yang terbungkus dalam organisasi besar, seperti Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, MTA, dan lainnya. Tak hanya faham agama islam saja, tetapi juga agama-agama lainnya, seperti Hindu, Budha, dan Kristen, begitu juga dengan budaya dan adat istiadat. Dan semua itu terkumpul dalam satu naungan yaitu Pancasila. Itulah dasar penting negara yang kita miliki bersama.
Gus Muwafiq juga menegaskan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia memiliki tugas dan beban berat dalam menjaga keutuhan Pancasila, karena Pancasila khususnya bagi para Nahdliyyin bukanlah keputusan manusia tetapi keputusan Allah SWT yang terbaik untuk negeri ini. Seyogyanya, pada saat ini pula kita tak perlu takut dan tidak akan membiarkan kelompok-kelompok baru yang ingin mengotak-atik Pancasila.
Selanjutnya, Gus Muwafiq menceritakan secara detail tentang awal pemutusan Pancasila sila pertama, di mana setiap golongan ingin mendasari negara Indonesia sesuai dengan keinginan golongan masing-masing. Pada waktu itu, Bung Karno selaku Bapak Presiden Pertama Republik Indonesia, menemui jalan buntu. Kemudian, beliau dalam pidatonya menyampaikan :
“Inilah perasan terakhir pikiran saya tentang negeri ini. Dulu kami mengenal istilah hamba dan budak, dulu kami mengenal istilah kawulo dan gusti, dulu kami mengenal istilah patih dan hamba, raja dan hamba. Tetapi demi negeri ini, semua itu kita hilangkan karena kami sejajar dalam demokrasi maka kami semua menggunakan bahasa baru yang namanya bahasa “rakyat””. Rakyat adalah bentuk dari persekutuan antara raja dan masyarakat yang saling bertanggung jawab, (Kullukum ro'in wakullukum mas'ulun an roiyyatihi) yang dipimpin oleh khidmat dalam satu bentuk kebijaksanaan yang dimusyawarahkan lewat perwakilan”.
Kurang lebih seperti itulah curahan pidato Bung Karno. Tetapi, di dalam masyarakat sendiri banyak pertentangan atas hal itu. Kemudian Bung Karno pun memberikan kesempatan lebar kepada kaum muslimin untuk merapatkan tentang apa yang kurang dari Pancasila.
Namun, hasil dari rapat tersebut hanya berujung pada perselisihan dan khilafiyah, di antaranya menyebut bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” bukanlah asas islam sebagaimana dalam ayat pertama Surat Al-Ikhlas. Sedangkan di antara lainnya membenarkannya bahwa bungkus dalam sila tersebut bisa menggunakan Bahasa Indonesia tetapi isi menggunakan aturan Al-Qur’an.
Karena rapat tak kunjung menuai hasil, maka Bung Karno saran kepada anggota BPUPKI dan PPKI untuk bertanya kepada ulama’ besar Indonesia yang telah mendapatkan gelar “Hadratus Syekh” kedua setelah “Hadratus Syakhoh” Fatimah Al-Falimbani, yaitu KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama’.
Kemudian, kesediaan untuk meminta pertimbangan kepada KH. Hasyim Asy’ari dibebankan kepada KH. Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu masih muda. KH. Wahid Hasyim pun segera pulang ke Jombang untuk meminta pertimbangan kepada ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari.
Sesampai di rumah, KH. Wahid Hasyim menuturkan kepada ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari, bahwa Bung Karno sudah memberikan ruang untuk mempertimbangkannya kepada umat islam. Sedangkan umat islam di Indonesia menginginkan dasar negara yang dirangkum dalam Pancasila dapat berkesesuaian dengan syariat Islam. Hasil dari pertimbangan umat islam adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa Dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”. Tetapi hasil sila pertama sementara ini ditolak oleh banyak masyarakat di berbagai daerah, khususnya masyarakat non-muslim.
KH. Hasyim Asy’ari pun menjawab, “Sebentar nak, aku akan puasa 3 hari, aku akan menghatamkan Al-Qur’an, Aku akan membaca Surat Fatihah sebanyak 350.000 kali di mana setiap satu Fatihah akan aku ulangi sebanyak 350.000 kali, aku akan meminta petunjuk kepada Allah”.
Setelah usai melakukan puasa 3 hari beserta amalan yang telah disebut di atas, KH. Hasyim Asy’ari melaksanakan sholat hajat 2 rokaat, di mana rokaat pertama membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali dan rokaat kedua membaca Surat Kahfi sebanyak 41 kali.
KH. Hasyim Asy’ari pun menuturkan hasil istikharahnya kepada putranya, KH. Wahid Hasyim, “Nak, keputusan istikharahku, hapuslah tujuh kata pada Piagam Jakarta itu (Dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya) sebab itu akan menyebabkan perpecahan, kemerdekaan adalah kemaslahatan yang didukung oleh ribuan nyawa para syuhada dan perpecahan akan mengembalikan bangsa ini pada jurang kesensaraan yang tidak ada ujungnya”.
Keputusan KH. Hasyim Asy’ari tersebut untuk menghapus 7 kata pada Piagam Jakarta itu tidak hanya didukung oleh semua warga Nahdliyyin, tetapi juga semua umat islam dan disetujui oleh semua rakyat Indonesia, bahkan sampai sekarang. Dan merupakan sila yang didasarkan pada syriat Agama Islam.
Jadi, sejarah tidak pernah sekalipun mencatat bahwa Nahdlatul Ulama’ dan warga Nahdliyyin ingin mengotak-atik Pancasila atau bahkan merubahnya, karena itu adalah Pancasila adalah amanat dari Allah SWT untuk bangsa Indonesia. Selamanya, Pancasila dan NKRI adalah harga mati.