Metode Tahammul (Menerima) Riwayat Hadits

Dalam mempelajari ilmu hadits, ada beberapa cara atau metode tahammul (menerima) riwayat hadits, yang mana metode tersebut ditunjukkan dalam suatu sighat (bentuk kalimat) dalam penyampaian hadits :


Pengertian Tahammul (التَّحَمُّلُ) Dalam Ilmu Hadits

Tahammul bisa diartikan sebagai proses menerima riwayat hadits oleh seorang rawi dari gurunya (rawi lainnya).


Macam-Macam Metode Tahammul

Adapun tahammul dalam ilmu hadits, ada beberapa metode yang bisa dilihat seperti di bawah ini :

1. As-Sima' (السِّمَاعُ - Mendengar)

Yaitu dengan cara mendengar sebuah hadits secara langsung dari gurunya (rawi yang meriwayatkan sebuah hadits). Adapun cara ini bisa diketahui dengan sighat sima' (mendengar) atau sighat yang menunjukkan makna sima', yang di antaranya adalah :

سَمِعْتُ، حَدَّثَنِيْ، اَخْبَرَنِيْ

"Aku mendengar, telah menceritakan kepadaku, telah mengabarkan kepadaku, .... dan lain-lain".

2. Al-Qira'ah alas Syaikhi (الْقِرَأَةُ عَلَى الشَّيْخِ - Membaca di Hadapan Guru)

Yaitu membacakan sebuah hadits di hadapan gurunya, baik rawi itu sendiri yang membacanya atau rawi lain yang membacakan di hadapan gurunya yang penting dia (rawi itu) mendengarkan pembacaan itu. Maksudnya di sini adalah gurunya memberikan riwayat hadits kepada rawi itu atau rawi lain, dengan cara rawi itu atau rawi lainnya disuruh membacakan tulisan yang berisi riwayat hadits.

Adapun sighat dalam pembacaan di hadapan guru, biasanya seperti berikut ini :

قَرَأْتُ عَلَيْهِ

"Aku membaca di hadapannya"

اَخْبَرَنِيْ قِرَأَةً عَلَيْهِ

"Telah mengabarkan kepadaku, berupa bacaan di hadapannya"

اَنْبَأَنِيْ قِرَأَةً عَلَيْهِ

"Telah mengabarkan kepadaku, berupa bacaan di hadapannya"

قُرِئَ عَلَيْهِ وَاَنَا اَسْمَعُ

"Telah dibacakan oleh seseorang di hadapannya, sedangkan aku mendengar".

3. Al-Ijazah Al-Khosh (الْاِجَازَةُ الْخَّاصَّةُ - Ijazah Khusus)

Ijazah di sini bukan dimaksudkan pada sebuah sertifikat atau lembaran peringkat seperti pada iajazah di sekolah-sekolah. Sedangkan ijazah yang dimaksud adalah pemberian izin dari seorang guru kepada rawi untuk meriwayatkan hadits-hadits darinya atau yang tertulis dalam kitabkitabnya.

Sedangkan shighat ijazah, biasanya sebagai berikut :

شَافَهَنِيْ

"Dia (guru) telah berbicara langsung kepadaku".

Nah, adapun syarat-syarat adalam ijazah adalah :

  • Orang yang memberi ijazah harus benar-benar mengerti isi kitab atau tulisan hadits itu
  • Orang yang menerima ijazah juga harus benar-benar mengerti isi kitab atau tulisan hadits itu. 
  • Orang yang menerima ijazah harus seorang rawi yang dhabit (memiliki ingatan kuat) dalam menghafal isi kitab dan tulisan haditsnya,
  • Jika syarat di atas tidak dipenuhi, maka ijazah tersebut dikatakan batal.

4. Munawalah (الْمُنَاوَلَةُ - Pemberian)

Bentuk munawalah di sini adalah :

  • Ketika seorang guru memberikan tulisan asli atau salinan yang diberikan atau dipinjamkan kepada rawi
  • Ketika seorang rawi membacakan tulisan asli atau salinan hadits di hadapan gurunya, kemudian guru itu mengatakan "Ini adalah riwayat saya dari fulan bin fulan, maka riwayatkanlah dar saya".

Biasanya, rawi yang menerima hadits dengan metode munawalah, maka kalimat rawi tersebut ditunjukkan dalam sighat :

نَاوَلَنِيْ

"Dia telah memberikan kepadaku".

Syarat dalam munawalah adalah harus disertai dengan ijazah khusus.

5. Mukatabah (الْمُكَاتَبَةُ - Penulisan)

Yaitu ketika seorang guru menuliskan sebuah riwayat hadits, baik menulis sendiri atau ia menyuruh orang lain untuk menulisnya, yang diberikan kepada seorang rawi, baik rawi itu berada di hadapannya atau tidak berada di hadapannya.

Menurut pendapat para ulama' ahli hadits, penerimaan riwayat hadits dengan metode mukatabah tidak disyaratkan harus meminta izin guru untuk meriwayatkannya. Adapun sighatnya, baisanya dengan kalimat:

كَتَبَ اِلَيَّ

"Dia telah menulis/mengirim tulisan kepadaku".

6. Wijadah (الْوِجَادَةُ - Penemuan)

Yaitu ketika seorang rawi menemukan khat atau lisan hadits dari rawi lain yang dikenali, sedangkan rawi itu memang tidak pernah mendengar, membacakan, atau lainnya mengenai hadits yang temukan. Biasanya, rawi yang menemukan tulisan hadits seperti demikian ini, saat dia hendak meriwayatkannya, maka dia akan menggunakan sighat :

وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ ابْنِ فُلَانٍ

"Aku telah menemukan tulisan hadits Fulan bin Fulan".

7. Al-Washiyyah bil Kitab (الْوَصِيَّةُ بِالْكِتَابِ - Wasiat Dengan Tulisan)

Yaitu ketika seseorang rawi memberikan wasiat kepada rawi lain yang telah ditentukan, baik kala dia dalam detik-detik wafatnya, sedang bepergian, ataupun sebagainya, agar rawi lain tersebut meriwayatkan tulisan yang berisi hadits.

Nah, ketika rawi lain tersebut hendak meriwayatkan haditsnya, maka biasanya dia menggunakan shighat :

اَوْصَى اِلَّيَّ فُلَانٌ بِكِتَابٍ، قَالَ فِيْهِ حَدَّثَنَا ... الخ

"Fulan telah berwasiat kepadaku di dalam tulisannya, dia mengatakan, "telah menceritakan kepadaku .... dan seterusnya"".

Menurut pendapat yang shahih, syarat metode al-washiyah bil kitab ini adalah harus meminta izin untuk meriwayatkan tulisan hadits tersebut dari gurunya.

8. Al-I'lam (الْاِعْلَامُ - Pemberitahuan)

Yaitu ketika seorang rawi memberitahu kepada rawi lain bahwa dia akan meriwayatkan tulisan hadits dari Fulan bin Fulan, dari Fulan bin Fulan, dan seterusnya.

Begitu pula halnya, ketika rawi lain tersebut hendak meriwayatkan tulisan haditsnya, maka dia biasanya menggunakan shighat :

اَعْلَمَنِيْ فُلَانٌ ابْنُ فُلَانٍ، قَالَ : حَدَّثَنِيْ ... الخ

"Fulan bin Fulan telah memberitahuku, dia mengatakan, "Telah menceritakan kepadaku .... dan seterusnya".

Menurut pendapat yang shahih, syarat metode i'lam ini adalah harus meminta izin untuk meriwayatkan tulisan hadits tersebut dari gurunya.


Faidah Metode Tahammul Dalam Ilmu Hadits

Kedelapan metode tahammul (menerima) riwayat hadits di atas merupakan metode yang shahih, di mana kualitas riwayatnya bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Tentu hal ini berbeda dengan hadits yang hanya diriwayatkan dengan sighat "عَنْ" (dari), "اَنْبَأَنِيْ" (telah menyampaikan berita kepadaku), atau "قَالَ" (Fulan berkata) karena masih diperselisihkan kualitas dalam riwayatnya.

Menurut ulama' muta'akhhirin (ulama' akhir yang ahli di bidang hadits) :

Riwayat hadits dengan menggunakan shighat "عَنْ" (dari), "اَنْبَأَنِيْ" (telah menyampaikan berita kepadaku), atau "قَالَ" (Fulan berkata) bisa saja memuat pengertian "السِّمَاعُ" (pendengaran) atau "الْاِجَازَةُ" (ijazah), dan bisa saja tidak memuat keduanya.

Sedangkan hadits dengan shighat "ذَكَرَ" (Fulan menutur) dan "رَوَى" (Fulan meriwayatkan) memiliki makna yang sama dengan "شَافَهَنِيْ" (Fulan berbicara langsung padaku) atau "كَتَبَ اِلَيَّ" (Fulan menulis/mengirim tulisan kepadaku).

Jadi yang perlu digarisbawahi, kualitas hadits dengan menggunakan shighat "عَنْ" (dari), "اَنْبَأَنِيْ" (telah menyampaikan berita kepadaku), atau "قَالَ" (Fulan berkata) masih diragukan, perlu diteliti, dan ditelaah kembali.

Coba baca pengertian hadits mu'an'an (hadits dengan riwayat "عَنْ" (dari)) dan syaratnya agar hadits tersebut bisa diterima : Pengertian Hadits 'Aly, Hadits Nazil, Hadits Mu'an'an, dan Hadits Muannan.

Sedangkan menurut para ahli hadits generasi pertengahan, yaitu di antara ulama' awal dan akhir berpendapat bahwa hadits dengan riwayat "اَنْبَأَنِيْ" (telah menyampaikan berita kepadaku) hanya diperuntukkan pada riwayat-riwayat "الْاِجَازَةُ" (ijazah) saja.


Sumber : Kitab Minhatul Mughits, Bab Penutup
Penulis : Syekh Hafidz Hasan Al-Mas'udi.