Dasar Mengenai Kesunnahan Talqin Mayit Sesudah Dipendam

Dasar Mengenai Kesunnahan Talqin Mayit Sesudah Dipendam

Talqin mayit adalah mengajarkan mayit dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban kubur sebagai pengingat kepadanya. Talqin mayit sesudah dipendam merupakan salah satu dari cabang permasalahan khilafiyah di dalam umat islam.

Hendaknya permasalahan khilafiyah seperti ini tidak diikuti dengan saling menuduh, saling menyalahkan, dan saling mengingkari, karena baik dari pihak penerima maupun pihak penolak memiliki dasar masing-masing.

Baca sebelumnya : Pengertian, Pembagian, dan Dasar Tentang Talqin.


Hukum Talqin Mayit Sesudah Dipendam

Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah menghukumi bahwa talqin mayit sesudah dipendam adalah sunnah, meskipun beberapa ulama’, khususnya ulama’ Wahabi, menghukumi bahwa talqin adalah bid’ah dan kesesatan.

Perlu diketahui bahwa pelaksaan talqin mayit sesudah dipendam didasarkan pada salah satu hadits Nabi SAW, meskipun kedudukan hadits ini dianggap lemah oleh sebagian ulama’. Namun, para ulama’ dalam karya kitab mereka memperkuat kedudukan hadits tersebut dan menegaskan bahwa hukum talqin mayit adalah sunnah, seperti yang akan dijelaskan pada poin selanjutnya.


Dasar dan Dalil Tentang Talqin Mayit

Memang tidaklah banyak hadits yang menjelaskan tentang talqin mayit sesudah dipendam, sehingga para sahabat dan tabi’in pada zamannya pun tidak melaksanakan talqin mayit, hanya segelintir dari sebagian kecil sahabat. Dan berikut ini hadits yang dianggap lemah (dhoif) yang dijadikan dasar talqin mayit :

قَالَ اَبُوْ اُمَامَةَ الْبَاهِلِى - إِذَا اَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِيْ كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لْيَقُلْ: يَا فُـلَانُ بْنُ فُـلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ، ثُمَّ لْيَقُلْ: يَا فُلَانُ بْنُ فُـلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قَاعِدًا، ثُمَّ لْيَقُلْ : يَا فُلَانُ بْنُ فُـلَانَةَ، فَاِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ، وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُوْنَ، فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالْقُرْآنِ اِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُوْلُ: اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا ؟، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَإِنْ لَمْ نَعْرِفْ أُمَّهُ ؟ قَالَ: تَنْسِبُهُ اِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلَانُ بْنُ حَوَّاءَ

Sahabat Abu Umamah Al-Bahili berkata, “Tatkala aku meninggal dunia maka lakukanlah kalian kepadaku sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkannya kepada kita untuk melakukan kepada mayit-mayit kita. Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita, kemudian Beliau berkata, “Tatkala salah satu dari saudara-saudara kalian meninggal dunia maka ratakanlah tanah di atas kuburnya, kemudian hendaklah salah satu dari kalian berdiri di atas kepala kuburnya kemudian hendaklah dia berkata, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya dia (si mayyit) mendengarkannya dan tidak menjawabnya. Kemudian hendaklah dia berkata, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya dia menegakkan tubuhnya sambil duduk. Kemudian hendaklah dia berkata, “Wahai fulan bin fulanan”, maka sesungguhnya dia berkata, “Berilah aku petunjuk semoga Allah merohmatimu !” tetapi kalian tidak menyadarinya. Kemudian hendaklah dia berkata, “Ingatlah sesuatu di mana kamu keluar dari dunia, yaitu kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo kepada Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Nabi Muhammad sebagai nabi, dan Al-Qur’an sebagai pemimpin”, maka sesungguhnya malaikat Mungkar dan Nakir yang mana setiap salah satu dari keduanya akan mengambil tangan pemiliknya (si mayyit) dan berkata, “Berangkatlah bersama kami, apa yang membuat kami masih tempat duduk di sini (ayo pergi dari sini) ?”. Kemudian seseorang (sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kita tidak mengetahui ibunya ?”. Rasulullah SAW menjawab, “Kamu nasabkan dia kepada Ibu Hawa’, Wahai fulan bin Hawa'.".

Catatan Penguat Hadits Di Atas :

  1. Imam Syaukani mengatakan, “Imam Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam Kitabnya, At-Talkhis, sanad-sanad hadits ini kuat”.
  2. Imam Dhiya’ juga menguatkannya (hadits di atas) di dalam Kitabnya, Al-Mukhtaroh wal Ahkam
  3. Imam Thabrani meriwayatkan seperti haditsnya Abu Umamah Al-Bahili, berupa hadits marfu’ yang muthawwal
  4. Imam Ahmad menisbatkan amaliyah talqin mayit dilakukan oleh ulama Syam, Ibnu al-Arabi menisbatkannya pada ulama Madinah, yang lainnya menisbatkannya pada ulama Cordoba (Spanyol)" (Kasyf al-Khafa' I/316).

Dari beberapa penguat hadits riwayat Abu Umamah Al-Bahili, maka jelaslah bahwa kedudukan hadits ini layak untuk dijadikan dasar. Begitu pula dengan amaliyah dalam isi hadits, yaitu talqin mayit sesudah dipendam, layak untuk dilaksanakan dan merupakan kesunnahan.

Dalam salah satu qoul, Dhamrah bin Hubaib yang merupakan salah seorang dari golongan tabi'in, berkata :

كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اِذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ اَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ،يَافُلَانُ قُلْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَا فُلاَنُ قُلْ رَبِّيَ اللهُ وَدِيْنِيْ الْاِسْلَامُ وَنَبِيِّ مُحَمَّدٌ - رواه سعيد بن منصور موقوفا

Mereka (para sahabat) menyunnahkan, tatkala diratakan di atas mayyit kuburnya dan orang-orang meninggalkannya, agar dikatakan di sisi kuburnya, “Wahai fulan, katakan tiada tuhan selain Allah sebanyak 3 kali, Wahai fulan, katakan Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah islam, dan nabiku adalah Nabi Muhammad” (Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur, berupa hadits Mauquf)".

Baca juga : Dasar Hadits Mayit Bisa Mendengar Orang Yang Masih Hidup.


Pendapat Para Madzhab Mengenai Talqin Mayit Sesudah Dipendam

Adapun para madzhab tidak mengingkari tentang amaliyah talqin mayyit sesudah dipendam, sebagian menghukumi sunnah, sebagain menghukumi mubah, dan sebagian menghukumi makruh.

قَالَ الْاِمَامُ اَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنَ الْعَلَمَاءِ اِنَّ هٰذَا التَّلْقِيْنَ لَا بَأْسَ بِهِ فَرَخَّصُوْا فِيْهِ وَلَمْ يَأْمُرْ بِهِ

"Imam Ahmad (Imam Hambali) dan ulama’ lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya talqin ini tidak apa-apa di dalam melakukannya, kemudian mereka memurahkannya (mengizinkannya untuk dilakukan), dan tidak memerintahkannya".

وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنَ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَاَحْمَدَ وَكَرَهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ اَصْحَابِ مَالِكٍ وَغَيْرَهُمْ

"Dan golongan dari sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad (Imam Hambali) menyunahkannnya, sedangkan golongan dari Imam Maliki dan lainnya memakruhkannnya".

Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmuk Fatawi, juz pertama berpendapat :

هٰذَا التَّلْقِيْنُ الْمَذْكُوْرُ (يَعْنِيْ تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفنِ) قَدْ ثَبَتَ عَنْ طَائِفَةٍ  مِنَ الصَّحَابَةِ اَنَّهُمْ اَمَرُوْا بِهِ كَأَبِيْ اُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرَهُ

"Talqin ini yang telah disebutkan [yakni talqin mayyit sesudah dipendam] telah benar-benar ditetapkan oleh golongan dari sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti sahabat Abi Umamah Al-Bahili dan lainnya".

Imam Nawawi berpendapat dalam Kitab Fatawinya :

وَاَمَّا التَّلْقِيْنُ الْمُعْتَادُ فِي الشَّامِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَالْمُخْتَارُ اسْتِحْبَابُهُ، وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ مِنْ اَصْحَابِنَا الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْمُتَوَلِّي وَالشَّيْخُ نَصْرُ الْمَقْدِسِي وَالرَّافِعِي وَغَيْرُهُمْ، وَحَدِيْثُهُ الَّذِيْ رَوَاهُ الطَّبْرَانِي ضِعِيْفٌ لَكِنَّهُ يَسْتَأْنِسُ بِهِ

"Dan adapun talqin yang menjadi budaya setelah dipendam di Kota Syam, maka pendapat yang lebih unggul adalah kesunnahannya. Dan golongan orang yang telah memberikan nash atas kesunnahannya (talqin mayit) dari sahabat kami, yaitu Al-Qodhi Husain, Imam Mutawalli, Syekh Nasrul Maqdisi, Imam Rofi'i, dan lainnya. Dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani (mirip seperti hadits riwayat Abu Umamah di atas) adalah dhoif (lemah) tetapi bisa dijadikan sebagai dasar".

Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat dalam Kitab At-Thuhfah :

وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِينُ بَالِغٍ عَاقِلٍ أَوْ مَجْنُونٍ سَبَقَ لَهُ تَكْلِيفٌ وَلَوْ شَهِيدًا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ بَعْدَ تَمَامِ الدَّفْنِ لِخَبَرٍ فِيهِ وَضَعْفُهُ اُعْتُضِدَ بِشَوَاهِدَ عَلَى أَنَّهُ مِنْ الْفَضَائِلُ فَانْدَفَعَ قَوْلَ ابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ

"Dan disunnahkan menalqin orang yang baligh lagi berakal, atau orang gila yang mendahului hukum taklif baginya, dan meskipun orang yang mati syahid seperti halnya telah pasti kemutlakan mereka setelah sempurna (selesai) dipendam, (hal itu didasarkan) atas khabar (hadits) di dalamnya. Dan kedhoifannya (hadits riwayat Abu Umamah di atas) dijadikan bukti bahwa talqin mayit merupakan amaliyah yang berfadhilah, kemudian hal itu menolak pendapat Ibnu Abdus Salam bahwa talqin adalah bid'ah".

Referensi lain yang menunjukkan kesunnahan talqin bisa dilihat pada Kitab I'anatul Thalibin, Fatkhul Mu'in, At-Talkhis, dan lainnya, mengenai bab tentang talqin mayit.

Wallahu a'lam bis showab.